Sebagian Kecil Pertanyaan yang Inginku Jawab dengan Pasti, tetapi Tidak Pernah Kucari Tahu Jawabannya Kenapa aku hidup? Jika hari ini aku malas, apakah sudah ditentukan oleh Tuhan? Apakah orang-orang menjengkelkan mengetahui bahwa mereka semenjengkelkan itu? Benarkah sesuatu yang tepat datang diwaktu yang tepat? Atau itu hanya alasan bagi orang yang tidak mau berusaha? Jika besok diumumkan bahwa matahari menghilang dari bumi, apa yang akan kulakukan? Mengapa aku sangat takut akan hari esok? Dengan kondisi apakah aku mati? Mengapa cinta mendebarkan bagi sebagian besar orang, padahal bagiku itu menjadi hal yang menakutkan? Mengapa dimataku orang yang jatuh cinta terlihat sangat bodoh? Mengapa selalu ada manusia yang sangat tertarik dengan kehidupanku sampai perubahan-perubahan kecil yang padahal tidak pernah disadari sekalipun olehku? Jika suatu saat aku bisa pergi menjelajah waktu, mengapa aku sangat ingin merubah masa laluku? Jika ada seseorang yang datang kepadaku dan menawarkan untuk...
Sebuah cerita yang kalau dibuang sayang.
Dear 10 July 2018.
Dear 10 July 2018.
Dengan judul Gangguan Nasi Kuning.
Hari itu saya bangun pagi seperti
biasa, hanya saja saya bangun sendiri tanpa suara yang membangunkan. Saya sedang
berada dikosan, karena ada beberapa hal penting yang harus dilakukan.
Pagi itu pula saya sadar, ‘hari ini latihan’. Dengan
semangat yang tidak begitu menggebu-gebu saya berangkat ke kamar mandi utuk
melaksanakan ibadah mandi, airnya dingin, tidak ada shower, tidak ada bak mandi. Hanya ada air dari kran yang disambut oleh seonggok ember.
Kebetulan hari itu ada kawan saya
yang lapar, ya lumayan lah ada kawan utuk membeli makan ke depan. Katakanlah
namanya Nisa, kami dengan perasaan cemas karena lapar langsung mendatangi
tukang nasi kuning yang hanya berjarak beberapa meter dari kosan.
“Bu nasi kuningnya dua"
“Pake sambel?”
Dia bertanya menggunakan bahasa
kebangsaan lagi, ma’lum saya bicara bahasa kebangsaan karena biasanya suka paka
bahasa kedaerahan, bahasa Sunda. Sengaja mengawali dengan bahasa
kebangsaan agar mudah untuk ditulis.
“Enggak Bu” ucap Nisa kawan saya.
Si Ibu hanya mengangguk, maaf Bu
bukan kami sedang menyuruh Ibu ya ini kan tugas Ibu. Sambil menunggu si Ibu
membungkus pesanan, Nisa memilih beberapa gorengan. Ya, dia ingin gorengan.
Saya hanya mengamati jalan yang masih sepi dengan lalu lalang motor dan mobil,
sebagian juga ada yang mengendarai sepeda.
Entahlah, sudah saya buang jauh-jauh
pikiran saya tentang seseorang itu selalu saja hinggap kembali. Dia bukan
burung, tapi sesuatu yang bisa menguasai pikiran saya. Tentang ini nanti saja
saya akan ceritakan.
“Sabarahaan Bu?” Nisa menganggu Si Ibu yang
sedang bekerja.
“Berapaan Bu” artinya itu.
“Dua rebu tilu Neng” jawab si Ibu
tanpa menatap.
“Dua ribu dapat tiga Neng” artinya itu.
‘Neng’ adalah panggilan orang Sunda
pada seseorang yang dihitung masih pada usia remaja atau yang muda-muda lah.
Ternyata Nisa kawan saya itu memilih dua mendoan (kami sering menyebutnya itu
cipe, baca ‘e’ nya seperti baca ‘cape’) dan satu risoles.
“Dalapan belas rebueun Neng”
Saya memberikan uang dua puluh ribu
lembaran, bilang pada kawan saya Nisa ‘dari saya dulu saja’. Dia setuju.
Si Ibu mengeluarkan uang dua ribu sebagai tanda kembalian.
“Hatur nuhun Bu”
Artinya saya bilang “Terimakasih Bu”.
“Sami-sami Neng” semoga kamu
mengertilah yang ini.
Dengan hati gembira karena pagi ini
sudah dapat sarapan, Nisa merogoh ponsel yang diletakan di saku celananya. Pagi itu saya tidak membawa ponsel, tak penting menurut saya.
“Selfi heula ah meh Mamah saya tahu”
Katanya “Selfi dulu ah biar mamah
saya tahu”. Mungkin hari itu mamahnya sedang posesif, sehingga kawan
saya itu harus laporan ke Mamanya sendiri. Kalau Mama saya sih kalem-kalem
saja. Padahal sebetulnya, Nisa itu tidak selfi dia hanya memotret sandal kami
berdua (ya kalau selfibkan ke wajah dan motret sendiri). Ingin berkata
kekinian tapi ya salah, kalau saya sih angguk saja setuju. Saya sedang malas
berdebat.
Ketika sampai di gang Nisa memberhentikan
langkah.
“Kela selfi heula” katanya sambil
mode selfi yang benar.
“Tunggu selfi dulu” artinya itu.
“Selfi wae atuh”
“Aduh selfi mulu“ artinya itu, tapi
saya dengan terpaksa ikutan miring-miring sambil senyum depan kamera.
Selesai acara selfi-selfian, kami
bergegas memasuki kosan. Nisa kawan saya langsung pergi ke kamar mandi karena
sudah tidak kuat dengan panggilan alam. Sedangkan saya malah terheran karena ketika
memasuki pintu kosan ada dua orang wanita dan pria memakai baju hitam putih. Kawan kosan yang baru pindah kemarin sedang banyak mendengarkan
perkataan pria dan wanita itu. Dengan agak canggung saya pergi ke dapur dan
membawa peralatan makan untuk menemani nasi kuning. Baru saja saya melewat ke
depan mereka yang sedang berbincang, saya tersadar ternyata itu seles.
Dengan niat mau membawa tissue ke
kamar untuk mengelap piring, tiba-tiba langkah saya terhenti dengan panggilan
pria seles itu katanya,
“nah kebetulan Teteh ini pakai
kacamata, bisa minta waktu nya sebentar?”
Saya tersenyum canggung, dan
sebenarnya tidak ingin memberi waktu saya. Bukan karena pelit tapi saya tidak
kuat lapar. Tapi karena saya masih menyelipkan rasa dermawan, saya bersedia
memberi sedikit waktu untuk mendengarkan pria itu. Tidak ada salahnya
menghargai. Terutama kasihan juga dengan kawan baru saya itu, yang sejak tadi
duduk manis terpaksa angguk-angguk mendengarkan pria dan wanita seles.
Saya duduk pinggir kawan baru.
“Kami punya sebuah produk yang tadi
sudah dijelaskan pada teman Teteh, jadi saya hanya akan membahasnya secara
singkat”
Saya menoleh kawan baru saya, dia
tersenyum canggung dan raut wajahnya mengatakan “iya”. Dalam hati saya
bersyukur, berarti pria ini tak akan bicara panjang.
“Jadi produk kami ini, untuk terapi
mata yang mengalami minus dan plus Teh. Boleh tau Teteh min berapa?”
Hati saya berceloteh ‘aduh dia mulai kepo’ tapi saya jawab.
“Satu koma lima A”
“Ini silahkan coba dipakai”
Pria itu mengeluarkan produk yang
tadi dia bilang, sebuah kacamata seperti untuk bersepeda dengan tekstur yang
agak keras dan pada bagian kacanya hanya terdapat lubang-lubang kecil. Dengan
agak canggung saya melepaskan kacamata dan memakai produk pria
seles itu.
“Coba fokus pada satu lubang, dan
lihat huruf ini”
Dia mengeluarkan alfabet yang
disusun dari ukuran dari terbesar hingga terkecil seolah sengaja membuatnya begitu agar susah dibaca. Saya menuruti apa kata pria itu, bukan maksud menjadi
seorang penurut tapi entahlah saya juga penasaran. Tidak lama kemudian saya lepas.
“Gimana teh?” kata pria itu.
“Gimana apanya?” merasa ambigu
dengan pertanyaannya.
“Ya antara tidak pakai kacamata dan
pakai kacamata produk kami?”
Oh itu maksudnya, terkadang wanita
memang butuh penjelasan yang mendetail.
“Jelas A”
Sebenarnya tidak ada yang berbeda
dengan apa yang saya rasa, tetap buram dua-duanya. Tapi berbohong untuk kebaikan
tidak ada salahnya. Pria itu tersenyum dan meyakinkan kembali produknya
ditambah melihatkan foto-foto orang yang membelinya. Dia memberikan diskon
50% jika saya mau membelinya pada hari ini juga.
Oh tentu bukan saya pelit, saya hanya
belum percaya pada orang yang pertama kali bertemu dan menawarkan janji-janji
manis. Tidak menyerah, dia meyakinkan kembali. Kami hanya membalas dengan senyuman dan saling menatap mata. Sepertinya dia mengerti wanita, saya hanya memberi kode-kode penolakan
tanpa bicara. Saya sedang malas bicara karena lapar, kawan baru juga
sepertinya terlihat canggung untuk bicara. Mereka akhirnya menyerah.
“Sayang sekali ya Teh, ini hanya
penawaran yang belaku sekali. Kalau teteh berniat untuk sembuh bisa datangi
kantor kami di (….), terapinya gratis Teh”
Saya tulis (….) karena lupa lagi dia
bilang apa. Pria dan wanita seles itu kemudian pamit untuk kembali
mencari target, saya tahu mereka menutupi rasa kecewa dengan senyumannya.
Sungguh diberkati memang orang yang tersenyum menutupi kekecewaannya. Sayang
beribu sayang saya tidak bisa membantu, semoga lancar ya perjalanan berikutnya.
Kawan baru saya menutup pintu, pasti
dia sudah jenuh dengan pria dan wanita tadi. Hari pertama dikosan yang
mengesankan katanya, mungkin. Dengan sepenuh hati saya membuka nasi kuning yang
sudah dari tadi terdiam menunggu dimakan.
Hei nasi kuning saya dataaang.
Nisapun keluar dari tempat panggilan
alamnya dengan senyuman lega dan bahagia seolah sengaja menunggu seles itu
pergi. Dia bisa makan nasi kuning dengan tenang tanpa gangguan. Wahai seles
nanti kalau aku sudah kaya, aku beli ya.
cawinsstoria_
Cawinsstoria, adalah nama pena
saya di Wattpad dulu, entah sekarang lupa belum sempat buka. Kawan baru adalah Teh Kakah tercinta. Terimakasih bagi
yang sudah membaca, cerita tidak penting ini saya tulis entah kenapa. Pada saat
itu mungkin sedang ingin saja.
Always
love yourself, bye!
Comments
Post a Comment
Boleh Komentar, sekedar informasi untuk menambah wawasan.